Pages

Rabu, 20 November 2013

Cerpen

`

Aku dan Hujan

          Bau tanah yang basah langsung menyambut indera penciuman. Langit terus menumpahkan airnya ke permukaan bumi. Jalanan terlihat sepi, siapa juga yang berani keluar dari rumah saat keadaan hujan deras begini?
          Aku kembali meneguk secangkir cokelat panas yang ada digenggamanku. Kembali merasakan manisnya cairan cokelat itu mengalir ke tenggorokkan dan perutku menghangat dibuatnya.
          Aku suka hujan. Aku sangat suka mendengar alunan nada yang dibuat oleh harmonisasi rintikkan-rintikkan air itu. Alunan nada yang tidak bosan menemaniku dalam kesepian.  Saat Ayah, orangtuaku satu-satunya, masih sibuk menenggelamkan dirinya sendiri ke sebuah pekerjaan yang katanya Ayah lakukan demi kebahagiaanku.
          Sayangnya, aku tidak merasakan kebahagiaan yang Ayah maksud. Tapi, itu tidak mengurangiku untuk mencintai dan menyayangi malaikatku satu-satunya itu. Sama sekali tidak. Walaupun ada sedikit perasaan kecewa, benci dan merasa tidak dianggap menyelinap masuk ke dalam hati dan pikiran.
          Drrtt Drrtt Drrtt… Getaran sebuah benda yang ada di atas meja sebelahku, menyadarkanku dari lamunan. Aku melihat layar handphone-ku dari ujung mataku. Freya is calling… Aku memutarkan kedua mataku jengah. Gadis ini merusak acara minum-cokelat-panas-sembari-menikmati-hujan milikku saja. Dengan malas tanganku terulur untuk mengambil benda sialan itu.
          “Hal—“
          “Hey, Emily kau ada dimana, bodoh! Kami disini sudah hampir meregang nyawa hanya karena menunggumu!” potong suara di seberang dengan cepat sebelum aku selesai berbicara.
           “Memangnya kalian ada dimana? Dan untuk apa kalian menungguku?” tanyaku dengan santai meminum kembali cokelat panasku.
           “Kami di—Tunggu! Jangan katakan kau lupa kalau kita janjian makan siang di Kona Beans!” teriak Freya histeris-yang menurutku sedikit berlebihan.
            Makan siang? Di Kona Beans? Uh-oh, aku benar-benar tidak mengingatnya. “Sayangnya, tebakanmu tepat sekali, Faye.” Jawabku terkekeh.
            Meski tanpa melihatnya, aku yakin saat ini pasti Freya sedang melebarkan sepasang mata gelapnya tidak percaya. “Yang benar saja! Aku tidak mau tahu, sekarang juga kau harus datang kesini!”
            “Tapi, hujannya belum reda, Faye. Aku masih ingin menikmatinya disini. Nanti aku kesana kalau hujannya sudah berhenti deh! Mungkin nanti sekitar jam lim—“
             “KAU SUDAH GILA APA!”
***
            “Happy birthday, Amy! Happy birthday, Emily! Happy birthday, happy birthday! Happy birthday, My Emily!
            Rasa terharu langsung membanjiri perasaanku. Walaupun sebenarnya aku sudah mengetahui akal-akalan mereka, terlihat dari tingkah aneh mereka saat di Kona Beans kemarin, tapi mau tidak mau aku merasa terharu.
          “Woah, Amy sebentar lagi sudah jadi perawan tua saja!” seru Freya yang direspon tawa dari Kathy dan pelototan dariku. Di saat hari biasa mungkin jitakkanku sudah mendarat di kepala gadis dengan rambut bergelombang itu, tapi untung kali ini dia bisa selamat.
            Aku melihat ke arah jendela, terlihat banyak air yang turun dari langit. Hujan. Apa kau ikut merayakan ulang tahunku, Hujan?
             Drrtt Drrtt Drrtt… “Ah, biar aku yang angkat untukmu!” Tanpa menunggu responku, Freya berjalan menuju meja di dekat jendela, tempat aku menyimpan handphone, dan mengangkatnya. Aku tersenyum melihat tingkahnya.
            “Jadi, apa keinginanmu, Amy?” pertanyaan Kathy membuatku mengalihkan pandangan dari tingkah laku Freya.
            Aku tersenyum tipis, “Aku ingin kita bertiga selalu tetap bersahabat selamanya,” gadis berkulit kecoklatan itu ikut tersenyum mendengar jawabanku, “dan aku ingin Ayahku lebih sering meluangkan waktunya untukku.”
           “Mm… Kathy? Amy?” panggil Freya.
           “Ya? Ada apa, Faye?” 
            Saat melihat air muka Freya yang sulit dijelaskan, entah mengapa perasaanku jadi tidak enak.
            “Kupikir sebaiknya kita ke rumah sakit sekarang,”
***
            Entah sudah berapa lama aku terdiam disini, duduk dengan pikiran dan hati yang dipenuhi dengan rasa khawatir serta kecewa. Aku mendengus, orang tua itu terus saja membuat perasaanku kacau, bahkan di hari dimana seharusnya aku sedang tersenyum dengan lebarnya. Pikiranku berdusta, dan hatiku tidak ingin menyadarinya.
            Kurasakan sebuah tangan memegang bahu kiriku, “Ayahmu pasti selamat, Emily.” Aku hanya terdiam menanggapi perkataan Kathy yang disusul anggukan dari Freya. Ah, apakah aku sudah bilang bahwa aku tidak suka dikasihani?
            Seorang pria berperawakkan tinggi yang memakai pakaian yang didominasi warna putih berjalan menghampiri aku dan kedua sahabatku. Dia menatap kami dengan tatapan iba, atau lebih tepatnya kepadaku? Di name tag-nya bertuliskan : dr. Bryan Christopher.
Sepertinya aku akan segera mendapatkan sebuah kenyataan yang amat pahit.
            “Kalian keluarga Mr. Cernelian, benar?”
***
             Angin berhembus, membelai wajahku lembut, seakan mencoba menyampaikan bahwa dia juga ikut bersedih hati dengan apa yang terjadi. Bohong jika aku berkata bahwa aku baik-baik saja. Mungkin aku selalu terlihat tidak peduli dan meyakinkan diriku sendiri bahwa masalah ini tidak ada apa-apanya. Tetapi, jika boleh jujur, pada bagian paling dasar hatiku berkata lain.
             Hampa. Rasanya hampa saat kutatap sebongkah batu besar itu. Nisan, jika kau tidak mengerti maksudku. Biar kuperjelas lagi, Ayahku telah tidak ada di muka bumi ini. Dia, dia… telah memenuhi ‘undangan’ dari Tuhan untuk kembali lagi kepada-Nya dan menemani Ibuku yang sudah terlebih dahulu kembali kepada-Nya. Meninggalkan dunia yang fana, meninggalkan seorang gadis dengan pikiran tidak dewasanya.
             Tuhan, setelah Kau bawa Ibuku, sekarang Kau bawa juga Ayahku? Kenapa Kau begitu serakah, Tuhan? Apakah Kau sangat kesepian sampai-sampai mengambil sepasang malaikatku?
            Angin, tolong aku, tolong bawa rasa sakit ini terbang bersamamu. Tolong bawa mereka pergi, jangan biarkan mereka tetap bersarang di hati ini. Hatiku sudah tidak bisa lagi membiarkan rasa yang menyesakkan ini untuk tinggal. Ini terlalu menyakitkan. Sungguh, bawalah mereka pergi, angin…
             “Hari sudah sore… sebaiknya kita pulang sekarang, Amy.”
             Aku melepaskan pegangan Kathy kasar, “Aku masih tetap ingin di sini. Jika kalian ingin pulang, silahkan saja." ujarku ketus.
             “Baiklah, kami tunggu kau di dalam mobil sana. Jika sudah selesai, segeralah menyusul…” kali ini suara Freya yang terdengar. Aku hanya diam, tidak mengalihkan arah pandanganku pada gundukkan tanah merah didepanku. “Ayo, Kath…” Lalu kudengar suara langkah kaki yang semakin mengecil, semakin menjauh.
             Aku menghela nafas panjang, “Ini hadiah terburuk yang kau berikan kepadaku, Ayah. Ah, tetapi seperti esok dan hari berikutnya serta selanjutnya akan lebih buruk lagi dengan tidak adanya kata maaf yang kau berikan kepadaku karena lagi-lagi kau tidak bisa sarapan ataupun makan malam bersamaku. Dan lagi-lagi karena pekerjaan yang menyebalkan itu.”
             Aku terkekeh, “Tidak jarang beberapa pertanyaan melintas dipikiranku, apakah pekerjaan itu lebih berharga daripada aku? Apa kelebihan pekerjaan itu dibanding aku? Padahal aku sangat yakin pekerjaan itu tidak bisa menyaingi kecantikkanku.”
             “Ah, apa yang sebenarnya aku katakan… Lihatlah, Yah, anak gadismu ini sudah gila, berbicara pada sesuatu yang telah tidak ada… atau sebenarnya kau dan Ibu sekarang sedang menatapku iba dari atas sana seperti drama-drama yang sering Ibu tonton sampai beruraian air mata?” kicauku dan dilanjut dengan tertawa hambar bagaikan orang tidak waras.
              Setitik air turun ke permukaan, disusul dengan air yang lain dan terus berikutnya, semakin banyak air yang turun dari langit yang sekarang berwarna keabuan. Hujan. Hujan itu berlangsung tiba-tiba membuatku terpaku sejenak. Kedua ujung bibirku tertarik, membentuk sebuah senyuman yang bisa dibilang sinis. Aku menengadahkan kepalaku.
               Kau, Hujan, kau yang membuat Ayahku meninggal. Apa maksudmu turun di saat-saat begini? Kau mau bilang dengan bangga kepada semua orang yang ada disini bahwa kau adalah penyebab dari semua ini?
***
              Aku menatap tanpa ekspresi pada rintik hujan yang dihasilkan langit diluar sana. Hatiku seketika tergores. Dengan segera aku menarik gorden dan menutup rapat pemandangan yang ada di jendela dihadapanku. Tanganku meraih handphone di meja dan menekan speed dial.
             “Hallo, ada apa, Amy?”
             “Faye, kupikir kali ini aku tidak bisa makan siang bersama kalian. Maaf.”
             “Eh? Kenapa?” terdengar jelas kebingungan dari nada pertanyaan di seberang sana.
              Aku menghela nafas panjang sebelum akhirnya menjawab, “Hujan dengan liciknya menjebakku untuk tidak keluar rumah. Kau pasti tahu bahwa aku tidak ingin tersentuh air dari langit itu.” Dan dengan cepat mematikan sambungan tanpa menunggu respon Freya.
              Aku benci hujan. Aku benci saat dia dengan seenaknya membuatku terpaksa mengingat kejadian itu. Kejadian saat dimana Ayahku pergi karena sebuah kecelakaan tabrak lari. Ya, pergi untuk selamanya. Aku tidak habis pikir dengan jalan pikiran si penabrak itu, hatinya itu terbuat dari apa? Dari batu? Sampai-sampai tega merenggut nyawa seseorang yang mungkin begitu berharganya bagi orang lain.
              Aku membenci hujan, karena jika saat hari itu tidak turun hujan, aku yakin dengan pasti kalau Ayahku sampai saat ini masih bersamaku. Tragisnya lagi, kejadian itu berlangsung saat ulangtahunku yang ke 17. Mengambil malaikat satu-satunya milikku.
             Aku sangat membenci hujan.

END?